Kontenlifestyle

Bagaimana Pandemi Mengubah Cara Saya Hidup

by Yogi Prasetya
Last update 10 April, 2023·4 minute(s) reading
Bagaimana Pandemi Mengubah Cara Saya Hidup

Sejak pandemi, April 2020. Kantor tempat saya bekerja menerapkan WFH ketat, sebenarnya sudah mulai awal pandemi masuk, tapi saya bertahan di Jakarta selama beberapa bulan, naif saya, jakarta dan dunia akan lekas membaik selama 1-2 bulan kedepan.

Setelah banyak menimbang-nimbang resiko, akhirnya saya memutuskan pulang ke kampung halaman, membawa 1 set peralatan kerja, cuma aptop sma mouse sih.

Semenjak itu, cara saya bekerja 98% berubah drastis. Nggak ada sama sekali yang namanya interaksi fisik dengan teman sekantor.

Saat itu, bisa dibilang tempat kerja saya beroperasi di 3 zona waktu, WIT, WITA, dan WIB. Tentu dengan kesepakatan menggunakan zona waktu Jakarta.

Dampak psikologis

Di enam bulan pertama, saya semakin sadar kalo kita ini makhluk sosial, saling membutuhkan satu sama lain.

Sebenarnya, saya bisa dibilang introvert, lebih suka menyendiri dan di depan komputer daripada harus ketemu banyak orang. Rasanya melelahkan.

Kehidupan kota juga membuat saya “kehilangan” keramaian, fasilitas publik seperti mall dan cafe. Juga ademnya ruangan kantor.

Namun, ternyata berada di dalam rumah selama bulan-bulan tanpa interaksi sosial yang signifikan selain virtual, benar-benar membuat saya merasa kesepian dan stres. Karena saya kehilangan interaksi fisik dengan rekan kerja.

Hal ini membuat saya merasa terasing dan tidak produktif dalam pekerjaan, dikit-dikit rebahan. Saya mengalami kesulitan untuk memfokuskan perhatian saya dalam jangka waktu yang lama dan sering merasa tergoda untuk menunda pekerjaan.

Di masa ambyar ini, progres kuliah saya sedang di semester akhir dan progress merampungkan skripsi, jadi makin-makin terasa lelah. Worlife balance bener-bener enggak balance.

Mulai merasakan new-normal

Sebagai orang dewasa, saya mesti belajar menerima apa yang seharusnya dijalani.

Lama kelamaan, sudah mulai terbiasa dengan yang namanya jarak dan keterbatasan.

Kita diajarkan tulus dari pesan “keep safe guys”. Pasti kita sudah terbiasa dengan kalimat sejenis itu.

Sebelum pandemi, kalimat seperti itu terkesan basa-basi seadanya. Namun berkesan dan _meaningfull _kan di saat bumi sedang nggak baik-baik saja.

Kita diajarkan untuk memahami makna kata sederhana.

Hidup pelan-pelan

Selama hidup di perantauan, jauh dari kata sunyi. Ngejar waktu setiap waktu, ngejar busway, semua terburu-buru.

Takut ketinggalan teman seumuran, takut nanti menua di karir yang segini-gini aja. Sadar, selama ini saya dilatih sprint setiap hari oleh ibu kota.

Saat ekonomi nasional melemah karena covid, orang-orang yang kurang beruntung kehilangan pekerjaan dan harus berpikir ekstra untuk bertahan, sedangkan yang beruntung menahan keinginan untuk menapaki step yang lebih “menyerang” di tempat kerja baru (baca: resign).

Banyak company-pun yang hati-hati untuk melangkah, apalagi langkah-langkah yang beresiko, seperti hire dalam jumlah banyak.

Belajar offline lifestyle lagi

Hidup didesa, membuat saya harus terbiasa lagi untuk melakukan banyak aktivitas secara offline, seperti transaksi pembayaran, pesan makanan dan lain-lain.

Culture shock-nya adalah, uang cash jadi banyak dan berbentuk pecahan, tentunya sangat berantakan.

Kalau diingat lucu juga, padahal dari kecil kita terbiasa transaksi cash to cash.

Yang nggak kalah repot adalah kalo malem laper, delivery online ya jelas belum ada, solusinya adalah masak sendiri, karena kalo udah diatas jam 10 malam, pedagang makanan udah sepi, maklumlah daerah kecil, jauh dari pusat kota.

Bikin kopi sendiri

Saya adalah penikmat kafe, native hanya penikmat. Nggak ngerti kopi sebenernya, tapi suka ngopi yang enak (wkwkwk).

Nah ini cukup merepotkan selama pandemi kemarin, karena di daerah saya belum ada kafe yang proper, akses kopi susu terdekat adalah Janji Jiwa HGL, 40 menit bolak balik motoran, males ga sih.

Awal-awal sih semangat ya beli kopi, lama kelamaan cape juga.

Akhirnya menyerah dan memutuskan untuk research alat kopi yang sederhana, akhirnya nemu metode cold brew.

Bikinnya gampang, cukup rendam kopi yang sudah digiling kasar di air dingin, diamkan 20 jam dalam kulkas.

Udah segampang itu, masih aja gak maksimal, rasanya nggak terlalu enak.

Akhirnya nemu artikel bule yang bilang, harus pake tempat yang terbuat dari kaca untuk rendamnya, dan untuk air disarankan pake air mineral bermerk.

Akhirnya bisa bikin kopi yang lebih enak, berkat tips tersebut.

Konklusi

Pandemi kemarin mengajarkan kita banyak sekali hal, kehilangan, keterbatasan, rindu yang bersamanya terselip doa dan dukungan.

Terlepas dari dampaknya, kita perlu mensyukuri sudah melewati masa-masa gelap, masa-masa lockdown yang nyebelin. Ditambah aksi-aksi kebijakan pemerintah yang manya-menye, pokoknya gitu lah.

Mungkin ini juga salah satu cara tuhan untuk menyembuhkan bumi yang kelelahan dengan pola hidup kita.

Setelah pandemi covid, banyak kata “mungkin” dalam kepala, sampai sempat berfikir kalau mungking bumi tidak akan pernah normal lagi.

Al Fatihah untuk saudara-saudara kita yang mendahului, serta doa mendalam bagi nakes-nakes yang gugur dalam tugas.

Semoga dibalas dengan karunia-Nya serta mendapat kedudukan yang pantas di kehidupan selanjutnya, aamiin.

Share this article